Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Istilah galau sedang ngetren. Banyak
dipakai dan digunakan, khususnya dikalangan ABG (remaja dan pelajar). Ada
istilah SMS Galau, Status Galau, Pesan galau, kata-kata galau dan semisalnya.
Intinya, menggambarkan kondisi perasaan atau pikiran yang tidak enak. Perasaan
tidak menentu. Rasanya ada yang kurang. Ada yang tidak beres. Tidak jelas apa
sebabnya.
Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
IV (2008) halaman 407, dikatakan “galau” itu berarti kacau (tentang pikiran);
“bergalau” berarti (salah satu artinya) kacau tidak keruan (pikiran); dan
“kegalauan” berarti sifat (keadaan hal) galau. Jika merujuk ke definisi ini,
keadaan galau adalah saat pikiran sedang kacau tak keruan. Orang yang tengah
galau pikirannya sedang kacau.
Hampir setiap orang pernah mengalami galau.
Karena tabiat manusia sering berdosa. Dan dosa menjadi sesuatu yang tak bisa
lepas dalam kehidupan manusia. berdosa juga menjadi tanda akan insaniyahnya.
Karena setiap manusia pastilah berdosa sehingga dia harus menunduk dan
merendahkan diri bertaubat dan memohon ampunan kepada Tuhannya.
Berikut ini ini penawar yang diajarkan Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wasallam saat galau datang, kesedihan hinggap,
perasaan tak menentu menyerang. Sangat mujarab dan ampuh dosa ini sebagaimana
yang dikabarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "melainkan Allah
akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahan (kegundahan)-nya serta
menggantikannya dengan kegembiraan."
__________________
__________________
اللَّهُمَّ إِنِّي
عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ
حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ
بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ
خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ
الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ
هَمِّي
Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah
hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku
berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku pada diriku. Ketetapan-Mu adil atas
diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang
Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang
Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam
ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur'an sebagai penyejuk
hatiku, cahaya bagi dadaku dan pelipur kesedihanku serta pelenyap bagi
kegelisahanku."
________________
________________
Doa di atas didasarkan pada hadits dari Abdullah
bin Mas'ud radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Tidaklah seseorang tertimpa kegundahan (galau) dan
kesedihan lalu berdoa (dengan doa di atas) . . . melainkan Allah akan
menghilangkan kesedihan dan kegelisahan (keundahan)-nya serta menggantikannya
dengan kegembiraan.
Ibnu Mas'ud berkata, "Ada yang bertanya, 'Ya
Rasulallah, bolehkah kita mempelajarinya?' Beliau menjawab, 'Ya, sudah
sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya'." (HR. Ahmad dalam
Musnadnya I/391, 452, Al-Hakim dalam Mustadraknya I/509, Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannafnya VII/47, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2372, Al-Thabrani dalam
Al-Mu'jam Al-Kabir no. 10198 –dari Maktabah Syamilah-. Hadits ini telah
dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, keduanya banyak
menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Juga dihasankan oleh Al-Hafidz dalam
Takhriij Al-Adzkaar dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Kalim al Thayyib
hal. 119 no. 124 dan Silsilah Shahihah no. 199.)
Apabila yang Berdoa Seorang
Wanita
Bentuk lafadz doa di atas untuk mudzakar
(laki-laki), Ana 'Abduka (aku hamba laki-laki-Mu), Ibnu
'Abdika Wabnu Amatik (anak laki-laki dari hamba-laki-laki-Mu dan anak
laki-laki dari hamba perempuan-Mu). Kalau yang berdoa adalah laki-laki tentunya
lafadz tersebut tepat dan tidak menjadi persoalan. Namun, bila yang berdoa
seorang muslimah, apakah dia harus mengganti lafadz di atas dengan bentuk
mu'annats (untuk perempuan), yaitu dengan Allaahumma Inni
Amatuk, Ibnatu 'Abdika, Ibnatu Amatik (Ya Allah aku adalah hamba
wanita-Mu, anak perempuan dari hamba laki-laki-Mu dan anak perempuan dari hamba
perempuan-Mu)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
pernah ditanya tentang seorang wanita yang mendengar doa di atas, tapi dia
tetap berpegang dengan lafadz hadits. Lalu ada yang berkata padanya, ucapkan,
"Allahumma Inni Amatuk . . . ." namun dia menolak dan
tetap memilih lafadz dalam hadits, apakah dia dalam posisi yang benar ataukah
tidak?
Kemudian beliau menjawab, "Selayaknya dia
mengucapkan dalam doanya, "Allahumma Inni Amatuk, bintu amatik . .
." dan ini adalah yang lebih baik dan tepat, walaupun ucapannya,
'Abduka, ibnu 'abdika memiliki pembenar dalam bahasa
Arab seperti lafadz zauj (pasangan; bisa digunakan untuk suami atau istri-pent),
wallahu a'lam." (Majmu' Fatawa Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah: 22/488)
Syaikh Abdul 'Aziz bin Baaz rahimahullah
pernah juga ditanya tentang cara berdoanya seorang wanita dengan doa tersebut.
Apakah wanita itu tetap mengucapkan, "wa ana 'abduka wabnu
'abdika" (dan saya adalah hamba laki-laki-Mu dan anak laki-laki
dari hamba laki-laki-Mu) ataukah harus mengganti dengan, "Wa ana
amatuk, ibnu 'andika atau bintu 'abdika"?
Beliau rahimahullah menjawab, "Persoalan
ini luas Insya Allah, Persoalan dalam masalah ini luas. Apabila wanita itu
berdoa sesuai dengan hadits, tidak apa-apa. Dan jika berdoa dengan bentuk yang
ma'ruf bagi wanita, Allahumma innii amatuk, wabnutu
'abdika, juga tidak apa-apa, semuanya baik." (www.binbaz.org.sa)
Kandungan Doa
Doa di atas mengandung persoalan-persoalan pokok
dalam akidah Islam di antaranya:
1. Rasa galau, gundah dan sedih
yang menimpa seseorang akan menjadi kafarah (penghapus dari dosanya) berdasarkan
hadits Mu'awiyah radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sabda,
مَا مِنْ شَيْءٍ
يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ فِي جَسَدِهِ يُؤْذِيهِ إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِهِ
مِنْ سَيِّئَاتِهِ
"Tidak ada sesuatu yang menimpa seorang
mukmin pada tubuhnya sehingga membuatnya sakit kecuali Allah akan menghapuskan
dosa-dosanya." (HR. Ahmad 4/98, Al-Hakim 1/347 dan beliau menyatakan shahih
sesuai syarat Syaikhain. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam al-Shahihah 5/344, no. 2274)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda:
مَا يُصِيبُ
الْمُسْلمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ
غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ
خَطَايَاهُ
"Tidaklah menimpa seorang muslim kelelahan,
sakit, kekhawatiran, kesedihan, gangguan dan duka, sampai pun duri yang mengenai
dirinya, kecuali Allah akan menghapus dengannya dosa-dosanya.” (Muttafaqun
alaih)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu
berkata dalam Syarh Riyadhish Shalihin (1/94):
“Apabila engkau ditimpa musibah maka janganlah engkau berkeyakinan bahwa
kesedihan atau rasa sakit yang menimpamu, sampaipun duri yang mengenai dirimu,
akan berlalu tanpa arti. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan
menggantikan dengan yang lebih baik (pahala) dan menghapuskan dosa-dosamu dengan
sebab itu. Sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya. Ini merupakan nikmat
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga, bila musibah itu terjadi dan orang
yang tertimpa musibah itu:
a. Dia mengingat pahala dan mengharapkannya, maka
dia akan mendapatkan dua balasan, yaitu menghapus dosa dan tambahan kebaikan
(sabar dan ridha terhadap musibah).
b. Dia lupa (akan janji Allah Subhanahu wa
Ta'ala), maka akan sesaklah dadanya sekaligus menjadikannya lupa terhadap
niat mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
Dari penjelasan ini, ada dua pilihan bagi
seseorang yang tertimpa musibah: beruntung dengan mendapatkan penghapus dosa dan
tambahan kebaikan, atau merugi, tidak mendapatkan kebaikan bahkan mendapatkan
murka Allah Ta’ala karena dia marah dan tidak sabar atas taqdir tersebut.”
2. Kedudukan ubudiyah merupakan
tingkatan iman tertinggi. Karenanya, seorang muslim wajib menjadi hamba Allah
semata dan senantiasa beribadah kepada-Nya, Dzat yang tidak memiliki sekutu. Hal
ini ditunjukkan lafadz, Inni 'Abduka Wabnu 'Abdika Wabnu
Amatik (Sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu,
dan anak hamba perempuan-Mu).
3. Semua urusan hamba berada di
tangan Allah yang diarahkan sekehandak-Nya. Dan masyi'ah (kehendak)
hamba mengikuti kehendak Allah. hal ini ditunjukkan oleh lafadz,
Naashiyatii biyadik (Ubun-ubunku berada di
tangan-Mu).
4. Allah yang berhak mengadili
dan memutuskan perkara hamba-hamba-Nya dalam perselisihan di antara mereka. Hal
ini ditunjukkan oleh lafadz, 'Adlun fiyya qadla-uka
(Ketetapan-Mu adil atas diriku). Allah Ta'ala berfirman,
إِنِ الْحُكْمُ
إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia
telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang
lurus, . ." (QS. Yuusuf: 40)
5. Ketetapan takdir-Nya adil dan
baik bagi seorang muslim. Jika dia mendapat kebaikan, bersyukur, dan itu baik
baginya. Sebaliknya, bila tertimpa keburukan (musibah atau bencana) dia
bersabar, dan itupun baik baginya. Semua perkara orang mukmin itu baik, dan hal
itu tidak dimiliki kecuali oleh ornag beriman. (HR. Muslim)
6. Anjuran untuk bertawassul
dengan Asmaul Husna (Nama-nama Allah yang Mahaindah) dan sifat-sifatnya yang
Mahatinggi. Allah perintahkan sendiri bertawassul dengannya dalam
firman-Nya,
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
"Hanya milik Allah asmaulhusna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu . ." (QS.
Al-A'raaf: 180)
7. Nama-nama Allah dan
sifat-sifatnya adalah tauqifiyyah yang tidak diketahui kecuali melalui
wahyu. Allah sendiri yang menamakan diri-Nya dengan nama-nama tersebut dan
mengajarkannya kepada para hamba-Nya.
8. Nama-nama Allah tidak
terbatas pada 99 nama. Hal ini ditunjukkan oleh lafadz, awis
ta'tsarta bihii fii 'ilmil ghaibi 'indaka (atau yang Engkau
rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu).
Sedangkan hadits yang menerangkan jumlah nama
Allah ada 99,
إنَّ لِلَّهِ
تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ
الْجَنَّةَ
"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus
kurang satu, siapa yang menghafalnya pasti masuk surga." (HR. Bukhari dan
Muslim) Menurut imam al-Khathabi dan lainnya, maknanya adalah seperti orang yang
mengatakan "Saya memiliki 1000 dirham yang kusiapkan untuk sedekah," yang bukan
berarti uangnya hanya 1000 dirham itu saja. (Majmu' Fatawa: 5/217)
9. Al-Qur'an memberi petunjuk
kepada jalan yang paling lurus. Keberadaannya laksana musim semi bagi hati orang
mukmin, memberi kenyamanan pada hatinya, menjadi cahaya bagi dadanya, sebagai
pelipur kesedihannya, dan penghilang bagi kesusahannya. Hal ini menunjukkan
kedudukan Al-Qur'an yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia, baik individu,
masyarakat, atau suatu umat.
10. Siapa yang datang kepada
Allah pasti Allah akan mencukupkannya, siapa yang menghaturkan kefakirannya
kepada Allah, Dia pasti mengayakannya. Siapa yang meminta kepada-Nya, pasti Dia
akan memberinya. Hal ini ditunjukkan lafadz hadits, "Melainkan Allah akan
menghilangkan kesedihan dan kesusahannya serta menggantikannya dengan
kegembiraan."
11. Wajib mempelajari Al-Sunnah
dan mengamalkan serta mendakwahkannya. Sesungguhnya Sunnah memuat petunjuk
kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini ditunjukkan oleh kalimat di ujung
hadits, "Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya."
Wallahu a'lam bil Shawab. [PurWD/voa-islam.com]