my blog

facebook

Selasa, 08 Desember 2009

Sejarah Timbulnya Aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahlussunnah berarti berarti pengikut dan penganut sunnah Nabi Muhammad saw, dan jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi Ahlussunnah Wal Jama’ah mengandung arti penganut sunnah Nabi dan sahabat beliau[1]

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham Mu’tazilah yang menyiarkan ajaran-ajarannya melalui kekerasan, aliran ini berpegang kepada sunnah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.

B. Tokoh-Tokoh Pendiri Aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah

1. al asy’ariah

a. Riwayat Hidup

Asy’ariyah muncul sebagai status aliran teologi Islam yang dapat dikatakan sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah yang bersifat rasional, liberal, nautral, falsafi dan sikap kekerasan mereka dalm mengembangkan ajarannya tentang kemakhlukan al Quran. Aliran ini dipelopori oleh Abu al Hasan al Asy’ari ( 873-9 35 M ) sebagai orang yang pertama menentang Mu’tazilah.[2]

Abu al Hasan Ali ibn Ismail al Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad tahun 935 M. pada mulanya ia adalah murid dari al Jubai dan salah seorang yang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga al Jubai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.

Mesipun ia sangat menguasai faham Mu’tazilah namun keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa tidak puas. Al Asyari pernah berdebat dengaa gurunya al Jubai dan dalam perdebatannya al Jubai tidak dapat menjawap pertanyaan yang diutarakan oleh al Asy’ari

Salah satu perdebatan itu menurut a Subki adalah

Al Asy’ari : Bagaimana kedudukan orang mukmin, kafir dan anak keecil di akhirat?

Al Jubai : Yang mukmin mendapat tingkat yang baik dalam surga, yang kafir masuk neraka dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.

Al Asy’ari : Kalau anak kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di Surga, mungkinkah itu?

Al Jubai : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuihan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan seperti itu.

Al Asy’ri : Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.

Al Ju bai : Allah akan menjawab, Aku tahu jika seandainya engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai pada umur tanggung jawab.

Al asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan, Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?

Kemudian diamlah al Jubai dan tidak dapat menjawab lagi.[3]

b. Pemikirannya

1) Sifat-Sifat Tuhan

Menurut al Asy’ari, Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata asy’ari Tuhan mengetahui dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ ilm ) tetapi yang mengetahui (‘ alim). Tuhan mengetahui dengan ilmuNya dan ilmuNya bukanlah zatNya. Sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan zatNya, tetapi tidak pula berbeda dengan zatNya. Sifat-sifat tersebut adalah ril walaupun tidak diketahui bagaimananya.[4]

2) Iman dan Kafir

Konsep al Asy’ari tentang iman dan kufur bertolak belakang dengan konsep Mu’tazilah. Menurut Asy’ariah iman hanya tasdik pada Allah saja, sedangkan menurut al Bagdadi iman adalah tasdik kepada Allah dan Rasulnya dan berita yang mereka bawa. Walaupun Asy’ariah mengakui ada tiga unsure keimanan yaitu tasdik, ikrar dan amal, akan tetapi yang pokok adalah tasdik, sedang ikrar dan amal hanya cabang. Tegasnya ikrar dan amal bukanlah esensi dari iman. Adapun kafir adalah orang yang mendustakan Allah dan Rasulnya serta kebenaran yang mereka bawa. Dengan kata lain kafir adalah orang yang tidak mengucapkan pengakuan dua kalimat sahadat. Mengenai orang Islam yang melakukan dosa besar Asy’ariah mengambil pendapat Murji’ah, yaitu menangguhkan persoalannya kepada Allah di akhirat (yaumul hisab )[5]

3) Akal dan Wahyu

Akal dan wahyu menjadi pembahasan polemis di kalangan peteolog Islam. Pembahasan tentang akal menyangkut empat hal berikut ini :

a. dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?

b. kalau dapat, apakah akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?

c. dapatkah akal mengetahui yang baik dan yang buruk?

d. kalau dapat, apak ah akal dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan buruk itu?

Asy’ari berpendapat, akal memag dapat mengetahui adanya Tuhan, teapiu akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan, tidak tahu yang baik dan yang buruk, dan tidak tahu bagaimana kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu.[6]

4) Pelaku Dosa Besar

Asy’ariah menolak ajaran Mu’tazilah tentang al manzilah bainal manzilatain. Menurut Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, akan tetapi karena berbuat dosa ia menjadi fasik. Seandainya orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, maka di dalam dirinya tidak akan didapati keimanan dan kekufuran. Hal semacam ini mustahil adanya. Oleh karena mustahil maka hukum bagi orang yang berbuat dosa besar itu bukan kafir tapi fasik.

5) Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia

a) Perbuatan Tuhan

Bagi kaum Asy’ari, faham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut, begitu juga dengan berbuat baik dan terbaik, beban diluar kemampuan manusia Asy’ari menegaskan dalam bukunya al Luma’, bahwa Tuhan dapat meletakkan pada manusia beban yang tidak dapat dipikul.[7]

b) Perbuatan Manusia

Asy’ariah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Gambaran tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dikemukakan dalam teorinya al kasb yaitu berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan.[8]

6) Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

Menurut Asy’ariah Allah berkuasa dan berkehendak mutlak tanpa ada yang membatasiNya. Allah adalah pencipta segala-galamya dan Dialah Yang Maha Kuasa mengatur segala sesuatu, baik dan buruk. Perbuatan manusia termasuk diciptakan oleh Allah, bukan manusia. Manusia sebagai sarana bagi perwujudan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam berbuat.

Keadilan Tuhan mereka artikan mereka artikan sama dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan adil berarti ia merdeka berbuat segala sesuatu sebagai penguasa dan pemilik tunggal alam ini. Tanpa ada yang membatasinya.[9]

7) Takdir dan Kebebasan Manusia

Asy’ariah mengakui daya manusia mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya, akan tetapi daya itu tidaklah dalam arti efektif. Dalam pandangan Asy’ariah perbuatan manusiatelah diciptakan tuhan semenjak azali dan manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam berkuasa dan berkehendak atas perbuatannya

1. Al Maturudiah

a. riwayat hidup

Nama aliran ini diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Matured, kota kecil di daerah Samarkand kurang lebih abad pertengahan hijrah dan ia meninggal di kota Samarkand pada tahun 333 H.[10]

Ia hidup sezaman dengan Abu Hasan al Asy’ari, tapi di tempat yang berbeda. Al Asy’ri di Basrah sedangkan al Maturidi di Samarkand, latar belakang mazhab yang dianut keduanya juga tidak sama. Al asy’ari adalah penganut mazhab Syafi’i, sedangkan al maturidi penganut mazhab Hanafi, sehingga pemikiran theology al Maturidi lebih rasional ketimbang al Asy’ari. Pemikiran al Maturidi lebih cenderung mendekati pemikiran Mu’tazilah, sementara pemikiran Asy’ari lebih dekat kepada Jabariyah.

Pada dasarnya timbulnya pemikiran teologi al Maturidi sebagaiman juga al Asy’ari, merupakan reaksi terhadap paham Mu’tazilah. Sungguhpun demikian, antara keduanya tidak selalu memiliki pendapat yang sama. Ada yang sama, dan banyak pula yang berbeda.[11]

b. Pemikirannya

1) Sifat-Sifat Tuhan

Mauridi dalam memahami sifat-sifat tuhan, hamper bersamaan dengan al asy’ari, di mana keduanya sependapat, bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, basyar dan sebagainya. Sekalipun begitu, pengertian al maturidi berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari memehami sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sedangkan al Maturidi memahami sifat-sifat Tuhan itu tidak dikatakan sebagaia esensiNya dan bukann pula dari esensiNya. Sifat Tuhan itu bersifat mulzamah ( suatu kepastian ) bersama zat tanpa terpisah.

Dengan pemahaman maturidi tentang makna sifat Tuhan ini, cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya hanya terletak pada pengakuan Maturidi tentang sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat yang berada di luar zatNya. Mu’tazilah memahami antara zat dan sifat Tuhan adalah dalam kesatuan.[12]

2) Iman dan Kafir

Pada umumnya konsep iman dan kufur Maturidiah Samarkand mirip dengan konsep Mu’tazilah dan konsep Maturidiah Bukhara sama dengan Asy’ariah. Golongan Samarkand yang diwakili oleh Maturidi mengartikan imin sebagai mengetahui Tuhan dalam ketuhanannya atau ma’riffat kepada Allah dengan segala sifat-sifatnya.

Golongan Bukhara yang diwakili oleh Bazdawi mengartikan iman dengan imin dan tasdik dan ikrar. Maturidiah pada umumnya mengakui bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, akan tetapi yang bertambah dan berkurang itu adalah sifatnya, bukan zatnya.[13]

3) Akal dan Wahyu

Golongan Maturidiah Samarkand berpendapat akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Untuk hal yang terakhir ini hanya dapat diketahui dengan wahyu. Karena itu, wahyu sangat diperlukan untuk menjelaskannya.

Golongan Maturidiah Bukhara lain lagi. Menurut mereka, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Untuk mengetahui itu diperlukan wahyu. Dalam kaitan ini akal harus mendapat bimbingan dari wahyu.[14]

4) Pelaku Dosa Besar

Al Maturidi berpendapat bahwa Muslim yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada pada al manzilah bainal manzilatain seperti pendapat Mu’tazilah.

5) Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia

a) Perbuatan Tuhan

Persoalan yang timbul ketika meneliti pebuatan Tuhan senangtiasa diawali pertanyaan, apakah perbuatan Tuhan mencakup hal-hal yang buruk? Atau apakah Tuhah memeiliki kewajiban-kewajiban untuk lepentingan manusia?

Aliran Maturidiah memberi batasan terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Mereka menerima paham adanya kewajiban menepati janji tentang pemberian pahala dan hukuman serta serta kewajiban mengirim para Rasul. Adapun kewajiban Tuhan melakukan hal yang baik dan terbaik, al Maturidi tidak secara tegas menyatakan wajib. Ia hanya menyatakan bahwa semua perbuatan Tuhan berdasarkan hikmat kebijaksanaan.[15]

b) Perbuatan Manusia

Al Maturidi berpendapat, perbuatan manusia sebanarnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sekalipun kemauan atau kehendak untuk berbuat itu merupakan kehendak Tuhan, tapi perbuatan itu bukanlah perbuatan Tuhan. Dalam hal ini maturidi sependapat dengan al Maturidi.[16]

6) Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

Menurut al Maturidiah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak sebebas yang diberikan Mu’tazilah. Baginya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang diberikan tuhan. Tuhan sebenarnya mampu membuat semua manusia yang ada di bumi ini menjadi beriman, namun Allah tidak melakukan hal tersebut. Alasannya, karena kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikanNya kepada manusia.

Dalam masalah keadilan Tuhan maturidi hamper sependapat dengan Mu’tazilah, mereka menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang setimpal.[17]

7) Takdir dan Kebebasan Manusia

Hal ini Maturidi golongan Bukhara sependapat dengan al Asy’ari sedangkan golongan Samarkan sependapat dengan Mu’tazilah.A

Entri Populer