my blog

facebook

Selasa, 08 Desember 2009

Sejarah Timbulnya Aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahlussunnah berarti berarti pengikut dan penganut sunnah Nabi Muhammad saw, dan jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi Ahlussunnah Wal Jama’ah mengandung arti penganut sunnah Nabi dan sahabat beliau[1]

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap faham Mu’tazilah yang menyiarkan ajaran-ajarannya melalui kekerasan, aliran ini berpegang kepada sunnah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.

B. Tokoh-Tokoh Pendiri Aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah

1. al asy’ariah

a. Riwayat Hidup

Asy’ariyah muncul sebagai status aliran teologi Islam yang dapat dikatakan sebagai reaksi dari aliran Mu’tazilah yang bersifat rasional, liberal, nautral, falsafi dan sikap kekerasan mereka dalm mengembangkan ajarannya tentang kemakhlukan al Quran. Aliran ini dipelopori oleh Abu al Hasan al Asy’ari ( 873-9 35 M ) sebagai orang yang pertama menentang Mu’tazilah.[2]

Abu al Hasan Ali ibn Ismail al Asy’ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat di Bagdad tahun 935 M. pada mulanya ia adalah murid dari al Jubai dan salah seorang yang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah sehingga al Jubai berani mempercayakan perdebatan dengan lawan kepadanya.

Mesipun ia sangat menguasai faham Mu’tazilah namun keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa tidak puas. Al Asyari pernah berdebat dengaa gurunya al Jubai dan dalam perdebatannya al Jubai tidak dapat menjawap pertanyaan yang diutarakan oleh al Asy’ari

Salah satu perdebatan itu menurut a Subki adalah

Al Asy’ari : Bagaimana kedudukan orang mukmin, kafir dan anak keecil di akhirat?

Al Jubai : Yang mukmin mendapat tingkat yang baik dalam surga, yang kafir masuk neraka dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.

Al Asy’ari : Kalau anak kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di Surga, mungkinkah itu?

Al Jubai : Tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuihan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan seperti itu.

Al Asy’ri : Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan, itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.

Al Ju bai : Allah akan menjawab, Aku tahu jika seandainya engkau terus hidup, engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai pada umur tanggung jawab.

Al asy’ari : Sekiranya yang kafir mengatakan, Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?

Kemudian diamlah al Jubai dan tidak dapat menjawab lagi.[3]

b. Pemikirannya

1) Sifat-Sifat Tuhan

Menurut al Asy’ari, Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata asy’ari Tuhan mengetahui dengan zatNya, karena dengan demikian zatNya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (‘ ilm ) tetapi yang mengetahui (‘ alim). Tuhan mengetahui dengan ilmuNya dan ilmuNya bukanlah zatNya. Sifat-sifat tersebut tidaklah identik dengan zatNya, tetapi tidak pula berbeda dengan zatNya. Sifat-sifat tersebut adalah ril walaupun tidak diketahui bagaimananya.[4]

2) Iman dan Kafir

Konsep al Asy’ari tentang iman dan kufur bertolak belakang dengan konsep Mu’tazilah. Menurut Asy’ariah iman hanya tasdik pada Allah saja, sedangkan menurut al Bagdadi iman adalah tasdik kepada Allah dan Rasulnya dan berita yang mereka bawa. Walaupun Asy’ariah mengakui ada tiga unsure keimanan yaitu tasdik, ikrar dan amal, akan tetapi yang pokok adalah tasdik, sedang ikrar dan amal hanya cabang. Tegasnya ikrar dan amal bukanlah esensi dari iman. Adapun kafir adalah orang yang mendustakan Allah dan Rasulnya serta kebenaran yang mereka bawa. Dengan kata lain kafir adalah orang yang tidak mengucapkan pengakuan dua kalimat sahadat. Mengenai orang Islam yang melakukan dosa besar Asy’ariah mengambil pendapat Murji’ah, yaitu menangguhkan persoalannya kepada Allah di akhirat (yaumul hisab )[5]

3) Akal dan Wahyu

Akal dan wahyu menjadi pembahasan polemis di kalangan peteolog Islam. Pembahasan tentang akal menyangkut empat hal berikut ini :

a. dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?

b. kalau dapat, apakah akal dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?

c. dapatkah akal mengetahui yang baik dan yang buruk?

d. kalau dapat, apak ah akal dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan buruk itu?

Asy’ari berpendapat, akal memag dapat mengetahui adanya Tuhan, teapiu akal tidak dapat mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan, tidak tahu yang baik dan yang buruk, dan tidak tahu bagaimana kewajiban mengerjakan yang baik dan menjahui yang buruk. Untuk mengetahui hal-hal tersebut diperlukan wahyu.[6]

4) Pelaku Dosa Besar

Asy’ariah menolak ajaran Mu’tazilah tentang al manzilah bainal manzilatain. Menurut Asy’ari orang yang berdosa besar tetap mukmin karena imannya masih ada, akan tetapi karena berbuat dosa ia menjadi fasik. Seandainya orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, maka di dalam dirinya tidak akan didapati keimanan dan kekufuran. Hal semacam ini mustahil adanya. Oleh karena mustahil maka hukum bagi orang yang berbuat dosa besar itu bukan kafir tapi fasik.

5) Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia

a) Perbuatan Tuhan

Bagi kaum Asy’ari, faham Tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut, begitu juga dengan berbuat baik dan terbaik, beban diluar kemampuan manusia Asy’ari menegaskan dalam bukunya al Luma’, bahwa Tuhan dapat meletakkan pada manusia beban yang tidak dapat dipikul.[7]

b) Perbuatan Manusia

Asy’ariah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Gambaran tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dikemukakan dalam teorinya al kasb yaitu berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan.[8]

6) Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

Menurut Asy’ariah Allah berkuasa dan berkehendak mutlak tanpa ada yang membatasiNya. Allah adalah pencipta segala-galamya dan Dialah Yang Maha Kuasa mengatur segala sesuatu, baik dan buruk. Perbuatan manusia termasuk diciptakan oleh Allah, bukan manusia. Manusia sebagai sarana bagi perwujudan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam berbuat.

Keadilan Tuhan mereka artikan mereka artikan sama dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan adil berarti ia merdeka berbuat segala sesuatu sebagai penguasa dan pemilik tunggal alam ini. Tanpa ada yang membatasinya.[9]

7) Takdir dan Kebebasan Manusia

Asy’ariah mengakui daya manusia mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya, akan tetapi daya itu tidaklah dalam arti efektif. Dalam pandangan Asy’ariah perbuatan manusiatelah diciptakan tuhan semenjak azali dan manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam berkuasa dan berkehendak atas perbuatannya

1. Al Maturudiah

a. riwayat hidup

Nama aliran ini diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Matured, kota kecil di daerah Samarkand kurang lebih abad pertengahan hijrah dan ia meninggal di kota Samarkand pada tahun 333 H.[10]

Ia hidup sezaman dengan Abu Hasan al Asy’ari, tapi di tempat yang berbeda. Al Asy’ri di Basrah sedangkan al Maturidi di Samarkand, latar belakang mazhab yang dianut keduanya juga tidak sama. Al asy’ari adalah penganut mazhab Syafi’i, sedangkan al maturidi penganut mazhab Hanafi, sehingga pemikiran theology al Maturidi lebih rasional ketimbang al Asy’ari. Pemikiran al Maturidi lebih cenderung mendekati pemikiran Mu’tazilah, sementara pemikiran Asy’ari lebih dekat kepada Jabariyah.

Pada dasarnya timbulnya pemikiran teologi al Maturidi sebagaiman juga al Asy’ari, merupakan reaksi terhadap paham Mu’tazilah. Sungguhpun demikian, antara keduanya tidak selalu memiliki pendapat yang sama. Ada yang sama, dan banyak pula yang berbeda.[11]

b. Pemikirannya

1) Sifat-Sifat Tuhan

Mauridi dalam memahami sifat-sifat tuhan, hamper bersamaan dengan al asy’ari, di mana keduanya sependapat, bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, basyar dan sebagainya. Sekalipun begitu, pengertian al maturidi berbeda dengan Asy’ari. Asy’ari memehami sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri. Sedangkan al Maturidi memahami sifat-sifat Tuhan itu tidak dikatakan sebagaia esensiNya dan bukann pula dari esensiNya. Sifat Tuhan itu bersifat mulzamah ( suatu kepastian ) bersama zat tanpa terpisah.

Dengan pemahaman maturidi tentang makna sifat Tuhan ini, cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya hanya terletak pada pengakuan Maturidi tentang sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat yang berada di luar zatNya. Mu’tazilah memahami antara zat dan sifat Tuhan adalah dalam kesatuan.[12]

2) Iman dan Kafir

Pada umumnya konsep iman dan kufur Maturidiah Samarkand mirip dengan konsep Mu’tazilah dan konsep Maturidiah Bukhara sama dengan Asy’ariah. Golongan Samarkand yang diwakili oleh Maturidi mengartikan imin sebagai mengetahui Tuhan dalam ketuhanannya atau ma’riffat kepada Allah dengan segala sifat-sifatnya.

Golongan Bukhara yang diwakili oleh Bazdawi mengartikan iman dengan imin dan tasdik dan ikrar. Maturidiah pada umumnya mengakui bahwa iman dapat bertambah dan berkurang, akan tetapi yang bertambah dan berkurang itu adalah sifatnya, bukan zatnya.[13]

3) Akal dan Wahyu

Golongan Maturidiah Samarkand berpendapat akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Untuk hal yang terakhir ini hanya dapat diketahui dengan wahyu. Karena itu, wahyu sangat diperlukan untuk menjelaskannya.

Golongan Maturidiah Bukhara lain lagi. Menurut mereka, akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan yang baik dan yang buruk. Tetapi akal tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan meninggalkan yang buruk. Untuk mengetahui itu diperlukan wahyu. Dalam kaitan ini akal harus mendapat bimbingan dari wahyu.[14]

4) Pelaku Dosa Besar

Al Maturidi berpendapat bahwa Muslim yang melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada pada al manzilah bainal manzilatain seperti pendapat Mu’tazilah.

5) Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia

a) Perbuatan Tuhan

Persoalan yang timbul ketika meneliti pebuatan Tuhan senangtiasa diawali pertanyaan, apakah perbuatan Tuhan mencakup hal-hal yang buruk? Atau apakah Tuhah memeiliki kewajiban-kewajiban untuk lepentingan manusia?

Aliran Maturidiah memberi batasan terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Mereka menerima paham adanya kewajiban menepati janji tentang pemberian pahala dan hukuman serta serta kewajiban mengirim para Rasul. Adapun kewajiban Tuhan melakukan hal yang baik dan terbaik, al Maturidi tidak secara tegas menyatakan wajib. Ia hanya menyatakan bahwa semua perbuatan Tuhan berdasarkan hikmat kebijaksanaan.[15]

b) Perbuatan Manusia

Al Maturidi berpendapat, perbuatan manusia sebanarnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sekalipun kemauan atau kehendak untuk berbuat itu merupakan kehendak Tuhan, tapi perbuatan itu bukanlah perbuatan Tuhan. Dalam hal ini maturidi sependapat dengan al Maturidi.[16]

6) Kehendak Mutlak dan Keadilan Tuhan

Menurut al Maturidiah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak sebebas yang diberikan Mu’tazilah. Baginya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang diberikan tuhan. Tuhan sebenarnya mampu membuat semua manusia yang ada di bumi ini menjadi beriman, namun Allah tidak melakukan hal tersebut. Alasannya, karena kebebasan berkehendak dan berbuat yang diberikanNya kepada manusia.

Dalam masalah keadilan Tuhan maturidi hamper sependapat dengan Mu’tazilah, mereka menggaris bawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang setimpal.[17]

7) Takdir dan Kebebasan Manusia

Hal ini Maturidi golongan Bukhara sependapat dengan al Asy’ari sedangkan golongan Samarkan sependapat dengan Mu’tazilah.A

Selasa, 10 November 2009

definisi 'amm dan dalalahnya

ini sedikit rangkuman tentang definisi 'amm dan dalalahnya namun saya sangat kurang memgrti tantang bab ini,kami hanya menunggu coment dari anda semua ,sukron.............
KAIDAH KE ENAM MENGENAI ‘AMM DAN DALALAHNYA
A. Definisi ‘AMM
‘Amm adalah lafadz yang menurut penetapannya secara kebahasaan menunjukan terhadap kemerataanya dan penghabisannya terhadap seluruh satuan satuannya yang maknanya mengenainya ,tanpa pembatasan pada jumlah tertentu dari pada satuan trsebut.jadi lafazh :’’setiap akad” pada perkataan fuqaha:’’setiap akad untuk keapsahannya disyaratkan ahliyyah dua pihak yang melakukan akad”.lafazh tersebud adalah umum,yang menunjukkan terhadap peliputan tiap-tiap sesuatu yang mengenainya,bahwa ia adalah akad,tampa suatu pembatasan pada akad tertentu atau beberapa akad tertentu. Lafazh:”barangsiapa yang melemparkan :pada hadits:
Artinya
“barangsiapa yang melemparkan senjatanya,maka ia aman”
Lafazh tersebut adalah ‘amm ( umum) yang menunjukan terhadap penghabisan setiap satuan/indifidu yang melemparkan senjatanya ,tampa suatu pembtasan pada individu tertentu atau beberapa perseorangan tertentu.
Dari uraian tersebut dapat diambil, kesimpulan, bahwasanya keumuman merupakan bagian dari sifat-sifat lafazh. Karena keumuman adalah dalalah lafazh terhadap penghabisan seluruh satuan-satuannya. Sesungguhnya lafazh apabila menunjukkan pada satu individu, seperti seorang laki Iaki ,atau dua individu seperti dua orang laki-laki, atau jumlah terbatas daripada individu¬ individu seperti beberapa orang taki-laki, sekelompok orang, seratus orang, dan seribu orang, maka ia tidaklah termasuk lafazh umum.
Perbedaan antara lafazh yang umum dan lafazh yang mutlak adalah bahwasanya lafazh yang umum menunjukkan atas peliputain tiap-tiap individu dari individu-individunya. Adapun lafazh mutlak, maka ia menunjukkan atas individu yang menyebar, atau beberapa individu yang menyebar, yang bukan mefiputi seluruh individu-individunya. Lafazh, yang mutlak sekaligus tidaklah menyangkut kecuali sallah satu .dari individu-individu yang menyebar. Ini adalah yang dikendaki dengan perkataan Ahli ilmu ushul fiqh.
B.Lafazh-lafazh Umum.
Penelitian terhadap kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa Arab menunjukkan bahwasanya lafazh-tafazh yang berdasarkan penetapan kebahasaannva menunjukkan terhadap keumuman dan penghabisan seluruh satuan-satuannya ialah sebagai berikut
1. Lafazh Kullu (tiap-tiap), lafazhjami (semua).
    •                
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.(2:29)
2 .lafaldz mufrad (kata benda tunggal) yang memakrifatkan dengan alif lam unuk maemakrifatkan jenis
Contoh : “perempuan yang berzina dan laki laki yang berzina……………..”
“ laki laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri……………..”
3.Bentuk jamak (plural) yang dimakrifatkan dengan alif lam penta’rifan
4.Isim (kata benda )maushulah (sambungan ):
5. Isim syarat

   •    
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman “(4:92)
•     •            
“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”(2:245)
6. Isim nakirah pada bentuk nafi(peniadaan ) artinya isim nakirah yang di tiadakan

C. Dalalah lafazh ‘Amm.,
Para ahli i1mu ushul'fiqh tidaklah berbeda pendapat bahwa setiap lafazh dari lafazh-lafazh umum yang telah kami jelaskan ditetapkan menurutt bahasa untuk maksud menghabiskan seluruh satuan yang'berkenaan dengannya. Mereka juga tidak berselisih pendapat, bahwasanya lafazh apabila pada nash syar"i, maka ia menunjukkan pada tetapnya. hukum yang di nashkan terhadap seluruh satuan yang mengenainya,, kecuali apabila ada dalil yang mentakhsish (mengkhususkan), hukum pada sebagiannya saja. Mereka hanyalah berbeda pendapat mengenai sifat dalalah lafazh yang umum yang Mereka juga tidak berselisih pendapat, bahwasanya lafazh apabila pada nash syar"i, maka ia menunjukkan pada tetapnya. hukum yang di nashkanterhadap seluruh satuan yang mengenainya,, kecuali apabila ada dalil yang mentakhsish (mengkhususkan), hukum pada sebagiannya saja. Mereka hanyalah berbeda pendapat mengenai sifat dalalah lafazh yang umum yang tidak. ditakhsishkan terhadap penghabisannya pada seluruh satuan-satuahnya. Apakah dalalah tersebut bersifat qath’i atau zhanni ?
Sebagian dari mereka, termasuk di antara mereka mazhab Syafi'iyyah berpendapat babwasanya lafazh yang umum, tidak ditakhsishkan adalah zhahir, dalam keumumannya, tidak bersifat qath'i. Jadi ' dalalahnya adalah zhanni dalam menghabiskan seluruh satuan-satuannya. Apabila ia ditakhsishkan, maka ia juga berdalalah zhanni, terhadap satuan-satuan yang tersisa setelah pentakhsishan itu. Jadi lafazh yang umum adalah bersifat zhanni dalalahnya, baik sebelum. ditakhshishskan maupun sesudahnya.
D. Macam-Macam 'Amm
Berdasarkan penelitian terhadap nash telah diperoleh ketetapan bahwa lafazh yang umum (amm) ada tiga macam yaitu:
1.Lafazh 'Amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti. Yaitu Lafazh 'amm yang disertai oleh qarinah yang menghilangkan kemungkinan pentakhshishannya. seperti lafazh yang umum pada firman Allah swt:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْق
Artinya :
”dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi ini melainkan allah yang member riskinya …………….”
2.Lafazh yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara pasti.yakni.lafal urnum yang disertai oleh qarinah yang menglangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dari lafalz itu adalah sebakian satuan-satuannya, seperti firman Allah SWT
Artinya:
"Dan mengerjakan hajji adalah kewajiban manusia “(Qs.3/Ali 'Imran 97).
Manusia pada nash tersebut adalah umum, namun yang dikendaki adalah khusus orang-orang mukallaf, sebab akal menuntut pengeluaran anak-anak dan orang-orang gila Misalnya lagi firman Allah SWT.
Artinya :
'Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang arab Badui yang berdiam di sekitar mereka tidak turul menyertai rosullulloh………….(QS. 8:AI-Taubah 120).
3.Lafazh 'Amm (umum) yang ditakhshiskan yaitu lafalz umum yangbersifat mutlak, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang meniadakan kemungkinan pentaksishannya maupun qarinah menghilangkan adalah umumnya. Misalnya ialah kebanyakan nash yang di dalamnya terdapat shighat umum, yang bebas dari berbagai qarinah lafzhiyyah (tekstual), atau. 'aqliyyah (rasional), atau urfiyyyah yang menentukan keumuman atau kekhususan. Lafazh ini adalah zhahirnya umum, sehingga ada dalil yang mentakhsishkannya, misalnya :
Artinya:
“wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri……….”
adapun lafazh 'Amm yang dapat ditakhshish, yaitu lafazh umum yang tidak disertai oleh qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah.sebagian satuan-satuannya Lafazh ini adalah zhahir dalam dalalahnya terhadap keumumannya, sehingga ada dalil yang mentkahshishkannya.
E.pentakhsishan lafazh ‘Amm
Pentakhshishan lafazh yang umum dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah penjelasan bahwa yang dikehendaki oleh Syari' dari lafazh yang umum sejak semula adalah sebagian satuan-satuannya, bukan seluruhnya. Atau ia adalah penjelasan bahwasannya hukum yang berhubungan dengan lafazh yang umum dari permulaan pembentukan hukumnya adalah hukum untuk sebagian satu satuannya. Misalnya sabda Rasulullah saw:
"Tidak ada pemotongan tangan pada (pencurian sejumlah),yang kurang dari seperempat dinar”
Merupakan pentakhsishannya terhadap lafazh yang umum dalam firman allah:
Artinya
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencun potonglah tangan keduanya" (QS. AI-Maidah 38).
Juga seperti hadits
Artinya :
"Seorang pembunuh tidak berhak warisan (dari si terbunuh)”
Hadits temebut mentakhshish keumuman ahli waris pada ayat-ayat bagian warisan- sebab hadits tersebut menjelaskan bahwasanya hukum warisan tidaklah disyariatkan untuk setiap kerabat.
F. Dalil Takhshish.
Dalil takhshish terkadang tidak berdiri sendiri, lafazhnya dan nash yang umum, sebagaimana ia berkaitan dan menjadi seperti bagian dari pada nash itu.,Terkadang pula dalil takhshish itu berdiri sendiri dan terpisah dari nash yang urnum. Di antara dalil yang berkaitan dan tidak, berdiri sendiri yang paling jelas ialah : istisna’(pengecualian), syarat, sifat, dan ghayah (batasan maksimal). Adapun istisna’, maka seperti firman Allah swt. dalam ayat utang-piutang, setelah perintah mencatat hutang yang bertempo :
إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا
“(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya……..”
'Syarat adalah seperti firman Allah" SWT.
Artinya
"Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang orang kafir". (QS.,an nisa : .23).
Sedangkan sifat adalah seperti finnan Allah SWT
Artifiya:
“….. dari istrimu yang telah kami campuri…’ (QS. An-Nisa' 23).
Ghayah sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya
"Dan tangan kamu hingga siku…….”
Sedangkan dalil-dalil takhshish yang mandiri dan terpisah yang paling jelas adalah : penalaran, urf, nosh dan hikinah pembentukan hukum.
Demikian ringkasan tentang ‘Amm dan dalalahnya ,apabila ada yang kurang atau ada yang tidak terangkum kami mohon maaf karena keterbatasan kami memahami materi ini.
The end

dakwah dan tujuannya

Ilmu Dakwah
Ilmu dakwah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan dakwah disebut "Da'i" sedangkan yang menjadi obyek dakwah disebut "Mad'u". Setiap Muslim yang menjalankan fungsi dakwah Islam adalah "Da'i".
Tujuan utama dakwah
Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah. Nabi Muhammad SAW mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah Nabi SAW adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia).
Fiqhud-dakwah
Ilmu yang memahami aspek hukum dan tatacara yang berkaitan dengan dakwah, sehingga para muballigh bukan saja paham tentang kebenaran Islam akan tetapi mereka juga didukung oleh kemampuan yang baik dalam menyampaikan Risalah al Islamiyah.
Dakwah Fardiah
Dakwah Fardiah merupakan metode dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman sekerja, teguran, anjuran memberi contoh. Termasuk dalam hal ini pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara tahniah (ucapan selamat), dan pada waktu upacara kelahiran (tasmiyah).
Dakwah Ammah
Dakwah Ammah merupakan jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato).
Dakwah Ammah ini kalau ditinjau dari segi subyeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-doal dakwah.
Dakwah bil-Lisan
Dakwah jenis ini adalah penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek dakwah). dakwah jenis ini akan menjadi efektif bila: disampaikan berkaitan dengan hari ibadah seperti khutbah Jumat atau khutbah hari Raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.
Dakwah bil-Haal
Dakwah bil al-Hal adalah dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah (al-Mad'ulah) mengikuti jejak dan hal ikhwal si Da'i (juru dakwah). Dakwah jenis ini mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima dakwah.
Pada saat pertama kali Rasulullah Saw tiba di kota Madinah, beliau mencontohkan Dakwah bil-Haal ini dengan mendirikan Masjid Quba, dan mempersatukan kaum Anshor dan kaum Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.
Dakwah bit-Tadwin
Memasuki zaman global seperti saat sekarang ini, pola dakwah bit at-Tadwin (dakwah melalui tulisan) baik dengan menerbitkan kitab-kitab, buku, majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan dakwah sangat penting dan efektif.
Keuntungan lain dari dakwah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Menyangkut dakwah bit-Tadwim ini Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada".
Dakwah bil Hikmah
Dakwah bil Hikmah Yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif.
Dalam kitab al-Hikmah fi al dakwah Ilallah ta'ala oleh Said bin Ali bin wahif al-Qathani diuraikan lebih jelas tentang pengertian al-Hikmah, antara lain:
Menurut bahasa:
• adil, ilmu, sabar, kenabian, Al-Qur'an dan Injil
• memperbaiki (membuat manjadi lebih baik atau pas) dan terhindar dari kerusakan
• ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama
• obyek kebenaran(al-haq) yang didapat melalui ilmu dan akal
• pengetahuan atau ma'rifat.
Menurut istilah Syar'i:
• valid dalam perkataan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan mengamalkannya, wara' dalam Dinullah, meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menjawab dengan tegas dan tepat.
Ini bukan iklan, tetapi sebagai dorongan agar kita mau dengan senang hati dan menikmati dakwah yang mudah dan berkah.

1 Memperoleh Keberuntungan Qs 3.104

2 Memperoleh Derajat yang Tinggi alias khairu ummah (ummat terbaik) Qs 3.110

3 Mendapat alat bukti keimanan yang benar bagi pelaku dakwah. Qs 61.2-3

4 Mendapat Rahmah Allah SWT. (Qs 9.71)

5 Mendapat pahala yang besar, "Barang siapa menunjukan pada kebaikan ,maka baginya pahala seperti orang yang melakukannya (HR Muslim)

6 Pelaku dakwah dapat terhindar dari laknat (Qs 5.78-79)

Jumat, 06 November 2009

bimbingan konseling islam

bimbingan k0nseling islam,bimbingan k0nseling islam adalah suatu prodi dalam jurusan dakwah dan k0munikasi ,STAIN surakarta.bimbingan könseling islam secara mendasar memang sama dengan bimbingan k0nseling pada umumnya,dari te0ri maupun prakteknya,namun yang membuat berbeda yaitu cara penyeleseiannya suatu masalahnya.yaitu bimbingan k0nseling islam lebih men0nj0lkan atau mengutamakan penyelesaian maslah dengan sudut pandang agama(islam tentunya)

Entri Populer